BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pengangguran bukanlah hal yang negatif. Di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Austrlia, Jepang, dan Singapura
masih terdapat pengangguran, hanya saja jumlahnya tidak sebesar di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, India, Vietnam, dan Thailand.
Pada permulaan tahun 1930-an terjadi depresi ekonomi yang
sangat serius di berbagai negara di dunia. Hal ini mendorong ahli ekonomi
Inggris, John Maynard Keynes untuk mengevaluasi pandangan-pandangan para ekonom
klasik (ahli-ahli ekonomi yang hidup antara zamannya Adam Smith dan zamannya
Keynes). Keynes pada tahun 1936 menerbitkan suatu buku yang berjudul: “The General Theory of Employment, Interest
and Money”. Menurut Keynes, kesempatan kerja penuh tidak selalu dicapai
dalam perekonomian sehingga perekonomian selalu menghadapi masalah
pengangguran. Pengangguran timbul karena tidak semua tenaga kerja dalam
perekonomian digunakan untuk kegiatan memproduksi, hal ini diakibatkan oleh
keinginan masyarakat (secara agregat) untuk berbelanja adalah lebih rendah dari
kemampuan perekonomian untuk memproduksikan barang dan jasa. Dengan kata lain,
pengeluaran agregat yang sebenarnya adalah lebih rendah daripada yang
diperlukan untuk mencapai kesempatan kerja penuh sehingga terjadilah
pengangguran.
Keynes tidak percaya pada kemampuan mekanisme pasar,
misalnya, upah buruh tidak dapat turun se-enaknya karena adanya undang-undang
yang mengatur upah minimum. Jadi, dalam kondisi resesi sekalipun, tidak mungkin
upah buruh diturunkan. Kalaupun berhasil menurunkan, diperlukan proses
negosiasi yang panjang antara perusahaan, serikat buruh, dan pemerintah. Proses
ini semakin memperparah ekonomi. Itupun akan berhasil bila terjadi kesepakatan
penurunan upah. Yang sering terjadi, negosiasi upah cenderung menaikkan upah,
seperti yang kita alami selama ini. Dalam hal ini, Keynes menggunakan stimulasi
fiskal untuk menaikkan dan menurunkan aktivitas ekonomi.
Mengapa Pengangguran Harus Dihindari ? Pada dasarnya, dalam
jangka panjang pengangguran dapat menimbulkan efek tidak baik bagi masyarakat
sehingga masalah pengangguran harus dihindari atau dikurangi jumlahnya.
Tingginya tingkat pengangguran menunjukkan kegagalan dalam pembangunan. Hal ini
dikarenakan, tingginya tingkat pengangguran menyebabkan produksi suatu negara
tidak mencapai tingkat maksimum atau tingkat potensial.
Selain itu, pengangguran juga berdampak langsung pada
individu penganggur tersebut. Para penganggur
secara ekonomi tidak memiliki sumber pendapatan, sehingga mereka tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berdampak pada masalah sosial, termasuk
masalah kriminal dengan motif ekonomi.
Selanjutnya,
pengangguran dapat menimbulkan masalah psikologis. Para
penganggur memiliki kecenderungan dianggap sebagai masyarakat kelas dua karena
dinilai tidak memiliki kemampuan untuk bersaing.
BAB II
MEMAHAMI DAN MENGATASI PENGANGGURAN
1.
Pengertian
Salah satu ukuran keberhasilan pengelolaan ekonomi suatu
negara adalah tingkat pengangguran. Pertanyaan mendasar adalah : apa yang
dimaksud dengan pengangguran ? Apakah setiap orang yang tidak bekerja disebut
penganggur ? Bagaimana mengukur pengangguran ? Apa hubungan pengangguran dengan
kemakmuran ? Bab ini akan menguraikan tentang pengangguran dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dari total di atas 200 juta penduduk Indonesia, hanya sebagian saja yang
bekerja, sebagian besar lainnya tidak bekerja. Mereka yang bekerja adalah
mereka yang berminat untuk bekerja, telah berusaha mencari atau menciptakan pekerjaan,
dan berhasil mendapatkan pekerjaan. Ada
beberapa alasan seseorang tidak bekerja. Sebagian dari mereka adalah orang yang
telah dan sedang berusaha mendapatkan atau mengembangkan pekerjaan, tetapi
belum berhasil. Sebagian lagi baru berniat untuk tidak bekerja, misalnya orang
yang sedang kuliah atau sekolah termasuk orang yang tidak sedang berusaha
mendapatkan pekerjaan. Orang yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga penuh
juga termasuk yang tidak berusaha mencari pekerjaan.
Pemilihan
antara mereka yang tidak bekerja dan tidak berniat mencari pekerjaan, dengan
mereka yang tidak bekerja dan sedang berusaha mendapatkan atau mengembangkan
pekerjaan, sangat penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan
penurunan pengangguran ditujukan untuk mereka yang berusaha mendapatkan atau
mengembangkan pekerjaan.
Pengangguran
(unemployment) tidak berkaitan dengan mereka yang tidak bekerja (siswa,
mahasiswa, ibu rumah tangga), tetapi tidak atau belum menemukan pekerjaan.
Jadi, tenaga pengangguran atau tunakarya
adalah mereka yang ingin bekerja, sedang berusaha mendapatkan atau
mengembangkan pekerjaan, tetapi belum berhasil mendapatkannya atau menemukannya,
dan bekerja kurang dari dua hari selama seminggu. Pengangguran umumnya
disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding
dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Definisi lain
tentang pengangguran adalah level tidak adanya pekerjaan di antara orang-orang
yang aktif mencari pekerjaan. Dalam hal ini, pengangguran ditimbulkan oleh
keberadaan orang-orang yang bekerja. Apabila semua orang bekerja, tidak akan
terdapat pengangguran di suatu negara.
2.
Angkatan Kerja
Angkatan
kerja adalah seluruh penduduk yang berusia 18 sampai 60 tahun, yang memiliki
keinginan untuk bekerja, atau sedang tidak bekerja dan sedang mencari
pekerjaan. Orang usia kerja yang tidak sedang mencari pekerjaan dianggap
sebagai penganggur sukarela dan karenanya tidak termasuk dalam angkatan kerja.
Karena itu, ukuran angkatan kerja dan jumlah penganggur dapat dinilai lebih
banyak daripada yang sebenarnya ketika sejumlah pekerja, setelah mencoba
mencari pekerjaan, menjadi putus asa dan berhenti mencari pekerjaan. Hal ini
merupakan suatu fenomena negatif yang terjadi di Indonesia.
3.
Kategori Penganggur
Pengelompokan
penganggur berdasarkan alasan mereka menganggur. Cara ini mengelompokkan
penganggur ke dalam tiga kategori, yaitu:
- Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)
Pengangguran
friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya
kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan
pembuka lamaran pekerjaan. Dengan kata lain, mereka menganggur karena sedang
dalam proses peralihan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya atau mereka
yang belum diterima bekerja ketika memasuki angkatan kerja. Misalnya, seorang
mahasiswa yang baru lulus kuliah melamar pekerjaan, ketika belum diterima bekerja, ia termasuk
penganggur friksional. Atau orang yang ingin beralih profesi, ketika ia belum
diterima bekerja untuk profesi yang diminatinya, ia termasuk penganggur jenis
ini. Atau sesorang yang pindah kota sehingga ia
keluar dari pekerjaan dan mencari pekerjaan baru di kota yang dituju. Selama ia menganggur, ia
termasuk penganggur friksional.
- Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
Pengangguran
struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan
tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Dengan
kata lain, ada ketidakcocokan antara keahlian yang dimiliki dengan jenis
kebutuhan tenaga kerja yang dicari. Hal ini disebabkan oleh keahlian penganggur
yang tidak cocok dengan lowongan pekerjaan, artinya lowongan perkerjaan tetap
ada tetapi tidak cocok dengan keahlian penganggur. Misalnya, saat ini pemerintah
sedang menggalakkan pajak sehingga dibutuhkan banyak konsultan pajak, tetapi
yang tersedia di pasar tenaga kerja adalah manajer atau ahli ekonomi bukan
pajak. Penganggur seperti ini paling banyak disebabkan oleh kemajuan teknologi,
mereka yang ahli dengan teknologi tradisional tidak akan dapat mengoperasikan
teknologi modern sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk bersaing.
- Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment)
Pengangguran
musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi
jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus menganggur. Contohnya seperti
petani yang menanti musim tanam, tukang jualan durian yang menanti musim
durian.
- Pengangguran Siklikal
Pengangguran
siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus
ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Dengan kata lain, pengangguran siklikal disebabkan oleh kondisi ekonomi yang
sedang mengalami resesi atau kondisi menurun dalam siklus ekonomi sehingga
lapangan kerja jarang. Artinya, pengangguran siklikal terjadi ketika GDP rill
lebih kecil dari GDP potensial. Dalam kondisi seperti ini, persaingan tenaga
kerja sangat ketat.
Pengangguran
dapat pula dikategorikan menurut seberapa intensif dia menganggur, antara lain:
1.
Penganggur Penuh
Penganggur
jenis ini adalah mereka yang ingin bekerja, berusaha mendapat dan mencari
pekerjaan, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Dengan kata lain,
penganggur penuh tidak melakukan aktivitas yang menghasilkan atau tidak
memiliki penghasilan.
2.
Setengah Penganggur
Penganggur
jenis ini adalah mereka yang bekerja tetapi kurang dari 35 jam dalam seminggu.
Sebagai standar umum di Indonesia
dan kebanyakan negara, seorang pekerja memiliki kewajiban untuk bekerja selama
35 jam dalam seminggu. Dengan kata lain, mereka yang bekerja kurang dari 35 jam
dalam seminggu dianggap bekerja tetapi tidak penuh, atau menganggur tetapi
tidak sepenuhnya menganggur.
3.
Penganggur Terselubung
Penganggur jenis ini
adalah mereka yang nampak bekerja untuk mendapatkan upah, tetapi pekerjaan yang
dilakukan tidak produktif. Biasanya pekerjaan yang dilakukan diciptakan oleh
Pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja sementara pada saat kondisi ekonomi
tidak baik. Artinya, pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga
kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang dengan tujuan mengurangi
jumlah pengangguran.
4. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran adalah persentase dari angkatan kerja
total yang tidak bekerja. Semakin besar jumlah penduduk, maka semakin besar
pula angkatan kerjanya. Apabila jumlah angkatan kerja ini bisa diimbangi dengan
kesempatan kerja, maka pengangguran akan sedikit. Namun sebaliknya, apabila
kesempatan kerja tidak bisa mengimbangi, maka jumlah pengangguran meningkat.
Tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) terjadi
ketika tidak terdapat pengangguran siklikal namun terdapat pengangguran
friksional dan stuktural dalam jumlah yang normal. Dengan kata lain, kesempatan
kerja penuh terjadi ketika tingkat pengangguran lebih besar daripada nol. Hal
ini disebut sebagai tingkat pengangguran alamiah. Selanjutnya, tingkat
pengangguran siklikal dapat menjadi negatif jika GDP rill melebihi GDP
potensial dan perekonomian berproduksi di atas tingkat kesempatan kerja penuh.
Hal ini berarti, periode pencarian pekerjaan yang normal bagi para penganggur
friksional dan struktural menjadi lebih pendek karena banyaknya lowongan
pekerjaan.
Tabel 2.1 Penduduk, Angkatan Kerja, dan Pengangguran
Di Indonesia
Uraian
|
Tahun
|
||||||
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
|
Total Penduduk (000)
|
213.734
|
216.372
|
219.010
|
221.496
|
223.962
|
226.468
|
226.954
|
Penduduk Usia Kerja (000)
|
151.936
|
154.858
|
157.780
|
160.550
|
163.320
|
166.090
|
168.880
|
Angkatan Kerja (000)
|
103.416
|
105.678
|
107.940
|
110.064
|
112.228
|
114.372
|
116.516
|
Penduduk Bekerja (000)
|
92.057
|
94.048
|
96.310
|
99.984
|
101.941
|
105.254
|
108.969
|
Penganggur (000)
|
11.359
|
11.630
|
11.630
|
10.080
|
10.287
|
9.118
|
7.547
|
Penganggur (%)
|
11,4 %
|
11,0 %
|
10,8 %
|
9,2 %
|
9,2 %
|
8,0 %
|
6,5 %
|
Sumber : Departemen Tenaga Kerja
Republik Indonesia
Berdasarkan
data dari Departemen Tenaga Kerja, ada sekitar 152 juta penduduk Indonesia yang
termasuk dalam kelompok usia kerja dari total sekitar 213 juta penduduk pada
tahun 2003. Penduduk usia kerja adalah mereka yang berusia 18 sampai 60 tahun.
Dari
152 juta penduduk usia kerja, terdapat 103 juta angkatan kerja. Angkatan kerja
adalah mereka yang memiliki keinginan untuk bekerja. Selisihnya, yaitu 49 juta
tidak termasuk angkatan kerja, karena berada pada usia kerja tetapi tidak
berminat atau tidak mencari pekerjaan. Mereka adalah siswa atau mahasisiwa
(sekalipun ada yang sambil bekerja, mereka diasumsikan tidak mencari
pekerjaan), ibu rumah tangga penuh, dan penduduk usia kerja yang dikarenakan
kondisi fisik mereka tidak dapat bekerja sehingga tidak mencari kerja.
Dari
103 juta angkatan kerja, terdapat 92 juta diantara mereka yang sudah bekerja,
atau disebut pekerja. Sisanya, yaitu di atas 11 juta orang, merupakan
penganggur, yang mencapai 11,4 % dari angkatan kerja di Indonesia pada tahun
2003.
5. Dampak Terburuk dari
Pengangguran
Pengangguran
dalam jangka panjang dapat berdampak buruk, yaitu semakin menigkatnya angka
kemiskinan. Seorang penganggur sudah pasti tidak memiliki penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, akibatnya ia akan hidup miskin. Orang miskin
memiliki kcenderungan terbelakang dalam melakukan berbagai hal seperti
keterbatasan memanfaatkan fasilitas umum dan fasilitas sosial (pendidikan,
rumah sakit), kurangnya perlindungan terhadap hak-hak mereka, dan sebagainya.
Lalu
bagaimana mengukur dan mengategorikan seseorang termasuk miskin atau tidak ?
kecenderungannya adalah melakukan penyederhanaan. Yang umum digunakan adalah
berdasarkan konsumsi atau pengeluaran per kapita per tahun. Sebagai standar,
seseorang disebut miskin bila asupan kalorinya kurang dari 2.100 kkal per
kapita per hari.
Selanjutnya,
M.Ridlo ‘Eisy (Pikiran Rakyat, 27 Agustus 1998) mengelompokkan masyarakat
miskin menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita per tahun sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Kategori kemiskinan berdasarkan ekuivalen nilai tukar beras
(kg/kapita per tahun)
Kategori
|
Desa
|
Kota
|
Miskin
|
320
|
480
|
Miskin Sekali
|
240
|
380
|
Paling Miskin
|
180
|
270
|
Sumber : Pikiran Rakyat, 27 Agustus 1998
Tabel 2.3 Jumlah dan persentase orang
miskin menurut kelompok pulau di Indonesia
Kelompok Pulau
|
Kota
|
Desa
|
Total
|
|||
Jumlah
|
Persentase
|
Jumlah
|
Persentase
|
Jumlah
|
Persentase
|
|
Sumatera
|
2,21
|
14,06 %
|
5,67
|
19,29 %
|
7,88
|
17,47 %
|
Jawa dan Bali
|
7,77
|
11,78 %
|
12,94
|
19,69 %
|
20,71
|
15,73 %
|
Kalimantan
|
0,32
|
7,51 %
|
0,98
|
13,00 %
|
1,30
|
11,00 %
|
Sulawesi
|
0,34
|
7,70 %
|
2,26
|
20,32 %
|
2,60
|
16,73 %
|
Lainnya
|
0,73
|
21,50 %
|
2,93
|
31,10 %
|
3,66
|
28,55 %
|
Kawasan Barat
|
9,98
|
12,22 %
|
18,61
|
19,56 %
|
28,59
|
16,17 %
|
Kawasan Timur
|
1,39
|
11,49 %
|
6,17
|
21,98 %
|
7,56
|
18,81 %
|
Indonesia
|
11,37
|
12,13 %
|
24,78
|
20,11 %
|
36,15
|
16,66 %
|
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2004
Distribusi kemiskinan di Indonesia tidak merata, seperti
ditunjukkan dalam tabel 2.2. Jumlah terbanyak penduduk miskin berada di pulau
Jawa dan Bali, yang mencapai lebih dari 20
juta pada tahun 2004. Hal ini bisa dipahami karena hampir 60% penduduk Indonesia berada di Jawa dan Bali.
Dalam hal persentase terhadap jumlah penduduk menurut kelompok pulau, tingkat
kemiskinan Jawa dan Bali kalah oleh tingkat
kemiskinan di Sumatera. Sementara orang miskin di Jawa dan Bali mencapai 15,73
% dari total penduduk Jawa dan Bali, orang miskin di Sumatera mencapai 17,47 %
dari total penduduk kelompok pulau Sumatera.
6. Sejauh Mana Pengangguran Perlu Ditekan
Pertanyaannya, sejauh mana Pemerintah perlu menekan
pengangguran ? Apakah sampai pengangguran mencapai nol persen ? Jawabannya,
tidak perlu sama dengan nol persen. Mengapa ? Seperti disampaikan di atas, ada
sekelompok penganggur, yang disebut dengan penganggur friksional, yang dengan
sukarela meninggalkan pekerjaan untuk mencari pekerjaan lainnya.
Pemerintah tidak perlu dipusingkan oleh mereka. Dan jumlah
mereka itulah yang bisa ditoleransi sebagai tingkat pengangguran yang wajar.
Dan definisi ekonomi penuh, istilah yang banyak digunakan dalam artikel di surat kabar, juga memberi
toleransi terhadap tingkat pengangguran.
Secara umum, pengangguran maksimum 5 % dari angkatan kerja
sudah dianggap bagus, dan ekonomi sudah dianggap berada pada ekonomi penuh.
7. Penanggulangan Pengangguran
Jumlah pengangguran tampaknya terus bertambah dari waktu ke
waktu. Data yang ditunjukkan tabel 2.1 tidak lagi akurat mengingat antara tahun
2003 sampai 2005 terjadi banyak perubahan. Setiap tahun sekitar 1,3 juta
penduduk tamat sekolah dan masuk ke bursa kerja. Sedangkan 1 % pertumbuhan
ekonomi saat ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 200 ribu. Dengan
demikian, diperlukan paling tidak 6,5 % pertumbuhan ekonomi setiap tahun untuk
dapat menyerap angkatan kerja baru. Seperti kita ketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia
sejak krisis 1997 selalu di bawah 6 %. Dengan demikian, jumlah penganggur terus
bertambah.
Menurut Bank Dunia (2003), pada tahun 2003 terdapat paling
tidak 9,5 juta penganggur penuh dan lebih dari 30 juta setengah penganggur,
yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu. Selanjutnya, terdapat
tiga masalah utama pengangguran : tingkat pengangguran yang tinggi, dampak
terburuk pada anak muda dan perempuan, dan penurunan pekerja sektor formal.
Sekitar dua pertiga penganggur adalah angkatan muda. Dan karena sulit mencari
pekerjaan, banyak dari mereka yang beralih dari sektor formal ke sektor
informal.
Terdapat beberapa program yang bisa dikembangkan untuk
mengurangi pengangguran seperti disarankan oleh Bank Dunia, yaitu menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pekerjaan secara langsung.
Berkaitan dengan penciptaan pertumbuhan ekonomi, perlu
mendorong laju investasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan menciptakan
efek penggandaan. Namun, peningkatan investasi perlu kerja keras karena
pemerintah dan masyarakat harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
usaha. Antara lain, keamanan harus dijamin, biaya murah, adanya kepastian
hukum, dan kebutuhan infrastruktur terpenuhi.
Berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja langsung, Indonesia
telah cukup pengalaman dalam hal ini. Yang perlu mendapat perbaikan adalah
seberapa efektif penciptaan lapangan kerja tersebut dalam menyerap tenaga kerja
yang benar-benar membutuhkan, seberapa efektif output dihasilkan dari lapangan pekerjaan tersebut, dan seberapa
sesuai antara kebutuhan masyarakat dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.
Bisa jadi, perlu dilakukan perpindahan penduduk dari kawasan kelebihan tenaga
kerja ke kawasan kelebihan permintaan tenaga kerja.
Kemudian menurut saya, cara-cara untuk menekan jumlah
pengangguran antara lain:
a.
Menciptakan Sumber Daya Manusia yang kompeten. Hal ini
perlu didukung oleh latar belakang pendidikan para penganggur, oleh karenanya
pemerintah harus ikut mengatasi persoalan ini. Di negara Korea, aktivitas kampus dimulai dari jam 07.00
sampai dengan 21.00, ini berarti Indonesia kurang efisien dalam
memanfaatkan waktu luang. Terlebih daripada itu, di Korea sudah memakai sistem
digital dalam aktivitas belajar mengajar, bahkan di universitas negerinya sudah
memakai perpustakaan digital. Sementara itu, Indonesia
yang mayoritas kuliah tidak lebih dari 7 jam sehari, sudah pasti tertinggal
dibandingkan negara Korea.
Di Korea, 7 jam tersebut hanya digunakan untuk pembelajaran teori, sisanya
ditujukan untuk praktek dan psikomotorik. Keyakinan saya bahwa Indonesia bisa
mengikuti jejak Korea, karena Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya
alam, jika diolah dengan benar maka kendala biaya pendidikan akan mudah
ditanggulangi.
b.
Menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, jika
perlu mengundang investor asing untuk menciptakan lapangan kerja di Indonesia. Indonesia adalah negara bahari, Indonesia
adalah negara maritim. Negara Indonesia
memiliki kekayaan alam yang sangat besar, hasil hutan, gas bumi, hasil laut,
hasil perkebunan dan sebagainya dapat dihasilkan dengan mudah di Indonesia. Jika
kekayaan alam diolah, maka akan menciptakan kebutuhan tenaga kerja sehingga
menciptakan lapangan kerja. Selanjutnya, pemerintah perlu pula menstimulasi
para pengusaha dalam dan luar negeri
dengan memberikan kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja
seluas-luasnya, dan dalam proyek pendirian lapangan pekerjaan tersebut pejabat
pemerintah tidak mengkorupsi dana terebut. Pemerintah sudah mulai menjalankan
PNPM untuk menciptakan lapangan kerja, hal ini telah direspon positif oleh
masyarakat. Pemerintah mutlak untuk ikut serta mengurangi jumlah pengangguran,
hal ini karena pengangguran menimbulkan eksternalitas negatif yaitu biaya
sosial. Penganggur tidak mempunyai penghasilan sehingga mereka cenderung
mengambil jalan pintas melakukan tindak kriminal yang merugikan masyarakat,
termasuk tindakan kriminal dengan motif ekonomi.
c.
Meningkatkan fleksibilitas dan investasi tenaga kerja.
Fleksibilitas disini artinya, tenaga kerja dapat bergerak bebas, memiliki akses
ke seluruh nusantara bahkan dunia sehingga ia dapat bekerja sesuai dengan kecakapannya.
Indonesia telah meningkatkan
fleksibilitas tenaga kerja, ini terbukti dari jumlah devisa negara yang
sebagian besar dihasilkan oleh TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang dikirim ke luar
negeri dan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan investasi
berhubungan dengan tenggang waktu dan resiko. Artinya, masalah pengangguran
adalah masalah jangka panjang, oleh karena itu investasi yang dibutuhkan harus
jangka panjang pula. Para penganggur memiliki
kemampuan terbatas sehingga mereka harus dididik dan dilatih agar memiliki kecakapan.
Dengan kata lain, pemerintah harus menggalakan pendidikan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah sudah menjalankan sekolah
gratis dan telah mengalokasikan 20% dari total APBN untuk hal ini. Sedangkan
resiko sangat erat sekali dengan ketidakpastian akan situasi di masa depan.
Artinya, pemerintah harus dapat meramalakan berapa tingkat pengangguran di masa
depan, sehingga dapat diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan agar
pengangguran tetap berada pada tingkat yang normal di bawah 5%.
d.
Menggalakkan budaya Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Pengusaha-pengusaha di Indonesia
perlu kiranya peduli terhadap masalah sosial atau pengangguran ini, karena
masyarakat adalah konsumen barang dan jasa dari perusahaan. Budaya peduli di Indonesia masih
kurang dari yang diharapkan. Bila kita kaji dan bandingkan, Upah Minimum
Regional di kota-kota besar masih jauh dari layak, hal ini sesuai dengan Direktorat
Jendral Pajak yang menentukan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp.
1.320.000 per bulan. Dengan kata lain, penghasilan sebesar Rp. 1.320.000 per
bulan adalah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara pas-pasan atau
layak. Di kota Cirebon sendiri, UMR yang ditetapkan masih di
bawah Rp. 700.000, artinya masih jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Hal ini sekaligus berarti, perusahaan kurang peduli terhadap
pekerja-pekerjanya. Hal seperti ini sudah membudaya di Indonesia yang
notabene didominasi perusahaan-perusahaan milik keluarga (patrenalistik).
e.
Menjalankan sistem produksi dan operasi yang padat
karya (labour intensive). Padat karya bertujuan untuk mengurangi tingkat
pengangguran karena proses produksi yang dahulu menggunakan mesin digantikan
dengan tenaga manusia. Dengan demikian, pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
tenaga manusia sebaiknya dikerjakan oleh manusia dan sebaiknya dihindari
pekerjaan yang menggunakan mesin-mesin.
f.
Menciptakan produk yang berkualitas tinggi. Implikasi
apabila suatu produk berkualitas tinggi, produk tersebut akan mudah diserap
pasar, sehingga perusahaan akan tumbuh. Perusahaan yang tumbuh menjadi besar
akan memerlukan cabang-cabang untuk membantu perusahaan melayani pasar. Sebagai
akibatnya perusahaan akan membuka lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya
mengurangi tingkat pengangguran.
g.
Memperbaiki mental masyarakat, semangat kerja ulet, tak
kenal putus asa, jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya. Di negara kita
terdapat kecenderungan kurang bertanggung jawab, ingin cepat kaya, mencuri,
memalsukan dokumen-dokumen, cepat puas, ingin santai. Demikian pula bangsa
kita, apabila sudah memperoleh uang atau gaji lumayan, mereka cenderung
memperbanyak waktu santai. Istilah yang terlontar dari mulut, “marilah kita
bersenang-senang menikmati hidup yang hanya sebentar,” adalah ucapan yang tidak
bermutu, ucapan orang putus asa. Bandingkan dengan orang Jepang yang daya tahan
bekerja dan kegigihannya dalam berprestasi maksimal, tidak cepat puas dengan
hasil kerjanya, tidak ingin cepat-cepat menduduki jabatan empuk, pandangan
mereka jauh ke depan, sehingga semua dapat direncanakan sejak dini dan tidak
terburu-buru.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan dan Saran
Pengangguran adalah masalah sosial yang harus dikurangi
tingkat keseriusannya. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan kerjasama dari semua
pihak, bukan hanya pemerintah sendiri. Lebih dari itu, pengangguran adalah
masalah sosial yang hanya dapat diatasi dalam jangka panjang. Selanjutnya,
tingkat pengangguran yang tinggi menandakan kegagalan ekonomi pembangunan suatu
negara, sehingga tingkat keseriusannya harus dikurangi, yaitu di bawah 5 %.
Di sisi lain, ada tiga elemen penting yang menunjang
pembangunan yaitu infrastuktur, struktur ekonomi, dan superstruktur.
Infrastruktur adalah prasarana yang tersedia seperti jalan,
jembatan, pelabuhan, irigasi, alat transportasi, telepon, dan sebagainya.
Struktur ekonomi adalah tersedianya faktor produksi dalam
masyarakat, serta tenaga manajemen yang berpandangan luas, kemampuan
mengadaptasi teknologi dan juga tersedia pasar produksi.
Superstruktur atau struktur atas adalah faktor mental
masyarakat, semangat kerja ulet, tak kenal putus asa, tekun, jujur, bertanggung
jawab, dapat dipercaya.
Kelemahan bangsa kita banyak dibicarakan oleh para pakar,
yaitu terletak pada superstrukturnya. Oleh karena itu, marilah kita sebagai
generasi penerus bangsa memperbaiki ketiga elemen yang menunjang pembangunan
secara komprehensif (holistic), tidak sebagian-sebagian. Dengan dukungan dari
seluruh elemen masyarakat, didukung kepercayaan diri guna mendorong kreativitas
dan inovasi, dan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, “Mari, Berubahlah untuk Maju.”
BAB IV
PENUTUP
Para ekonom di seluruh dunia
sering membicarakan suatu kontroversi antara mereka yang disebut dengan ekonom
klasik dengan ekonom Keynes. Pada dasarnya pakar ekonomi setuju apa yang harus
dicapai dengan pengelolaan ekonomi makro, tetapi mereka tidak sepakat mengenai
bagaimana caranya mencapai tujuan tersebut. Di situlah sentral kontroversi
mereka.
KUBU KLASIK
Ekonom klasik mendasarkan konsep atau teorinya pada hukum Say
(yang dirumuskan oleh J.B. Say), yang pada prinsipnya menyatakan bahwa ”pasokan
(supply) menciptakan permintaan (demand)”. Artinya apa saja yang diproduksi
akan laku dijual, apa saja yang ditanam akan laku dikonsumsi, dan apa saja yang
dibuat di pabrik akan laku dijual di pasar. Ini bisa terjadi bila mekanisme
pasar secara murni dan utuh bisa beroperasi dalam sistem perekonomian.
Prinsip tersebut berlaku apabila dua prinsip berjalan di
dalam sistem ekonomi. Prinsip pertama adalah Laissez-faire. Artinya, peran pemerintah dieliminir, atau
diminimalisasi seminim mungkin. Lalu apa yang dilakukan pemerintah ? Tugas
mereka adalah memastikan agar transaksi bisa berjalan dengan baik. Artinya,
tugas pemerintah adalah menyediakan jumlah uang yang cukup sehingga transaksi
bisa berjalan, jangan sampai ada pihak yang kesulitan mendapatkan uang yang
dapat menyebabkan macetnya perputaran ekonomi. Samuelson dan Nordhaus menyebutkan,
ekonom klasik menggunakan kebijakan moneter, pengaturan jumlah uang beredar,
sebagai senjata utama mengelola ekonomi makro.
Prinsip kedua adalah semua harga fleksibel. Dalam kondisi
ekonomi seperti ini, ‘tangan yang tidak kelihatan’ (invisible hand) bisa
beroperasi mengatur ekonomi menuju kondisi penuh (full employment). Harga,
termasuk upah buruh sebagai salah satu faktor produksi, bisa dinaikkan atau
diturunkan sesuai kondisi pasar yang berlaku.
KUBU KEYNES
Sementara itu, kubu Keynes tidak percaya pada kemampuan
mekanisme pasar. Misalnya, upah buruh tidak dapat turun seenaknya karena adanya
undang-undang yang mengatur upah minimum. Jadi dalam kondisi resesi sekalipun,
tidak mungkin upah buruh diturunkan. Kalaupun berhasil menurunkan, diperlukan
proses negosiasi yang panjang antara perusahaan, serikat buruh, dan pemerintah.
Proses ini semakin memperparah ekonomi. Itupun akan berhasil bila terjadi
kesepakatan penurunan upah. Yang sering terjadi, negosiasi upah cenderung
menaikkan upah, seperti yang perusahaan-perusahaan alami selama ini.
Oleh karena itu, penganut ekonomi Keynes banyak menggunakan
stimulasi fiskal untuk menaikkan dan/atau menurunkan aktivitas ekonomi.
Perdebatan antara kubu klasik dan kubu Keynes tidak perlu
diperpanjang, karena perbedaan tersebut hanya terletak pada seni (art) untuk
mencapai tujuan ekonomi makro yang dimiliki masing-masing kubu. “Intinya, ilmunya adalah sama, tetapi
seninya berbeda.”
* S E K I A N *
Thank's sob makalah nya ...
BalasHapusThanks ya, artikel sangat membantu dalam menyelesaikan tugas perkuliahan tentang inflasi dan pengangguran. Kunjungi juga ya MAKALAH INFLASI DAN PENGANGGURAN
BalasHapus